Rabu, 27 Februari 2013

Rancid

While Rancid was on tour in the UK we got together in the spirit of Tim Timebomb And Friends to record some songs for fun between shows. We recorded tracks for one of my favorite Hank Williams Sr songs with Matt Freeman, Branden Steineckert and Ryan Foltz. I loved how the song came out, so after we got back home, I invited Matt, Branden, Kevin Bivona, and Jason Myers to be in the music video for it.
Lihat Terjemahan

Endank soekamti # 8

Update Show :
* Sabtu, 9 maret 2013 - Jl. Abdul Rahman Saleh Madiun
*Jum'at, 5 April 2013 - Gd JEC Jogjakarta
*Sabtu, 6 April 2013 - Purbalingga
*Sabtu, 13 April 2013 - Pekalongan
*Sabtu,20 April 2013 - Temanggung
*Sabtu, 25 Mei 2013 - Jogjakarta
*Sabtu, 15 Juni 2013 - Semarang
*Sabtu, 22 Juni 2013 - Klaten

Koleksi menarik Boxset #Angka8 Album ke 5 Endank Soekamti :
- CD Audio 16 track
- DVD film Rock for Kamtis
- Novel biografi
- T - shirt ekslusif
- Kalung Army dg nama kamu
- Sertifikat kepemilikan

Info & order : Mr Ahonk 08975057002
Koleksi menarik Boxset #Angka8  Album ke 5 Endank Soekamti :
- CD Audio 16 track
- DVD film Rock for Kamtis
- Novel biografi
- T - shirt ekslusif
- Kalung Army dg nama kamu
- Sertifikat kepemilikan

Info & order : Mr Ahonk 08975057002

Selasa, 26 Februari 2013

camp marjinal


MARJINAL
Komunitas Marjinal lahir tidak lepas dari kondisi masyarakat yang tertindas. Dan perlu diketahui bahwa Marjinal tidaklah sebuah group band (walaupun rockstar semuanya he he hee) tetapi Marjinal lebih mengaktualisasikan dirinya debagai komunitas.
Marjinal juga terkenal sebagai Taring Babi, AFRA (Anti Fasis Anti Rasis), dan Tempe Quality. Ini mempunyai arti bahwa mereka ingin menghancurkan system kepakeman yang berlaku sekarang ini.
Marjinal adalah komunitas yang terbuka untuk siapa saja yang ingin ikut melawan penindasaan dengan acara yang independen, kreatif, dan adil.
Kegiatan
Selain bermusik, Marjinal juga terlibat aktif dalam gerakaan perlawanan terhadap system yang menghegemoni. Marjinal sering melakukan pengorginisiran dan bekerja sama dengan komunitas yang lain. Marjinal juga melakukan perlawanan lewat graffiti, cukil, sablun, emblem, pin, dan rumah komunitas marjinal selain sebagai 'home base' juga sebagai media pendidikan dan distro.

Kontak
a: Jl. Moh Kafi II, Gg Setiabudi No. 39,
Rt.11, Rw.8 Srengsengsawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
12640, Indonesia
t: 021-7270666
e: taringbabi@yahoo.com

bangkit dan berontak

Pada tahun 2003 penduduk Kampung Setiabudi di Srengsenawah, Depok mendapat kejutan tak terduga ketika sekelompok berantakan, tato punk dikontrak sebuah rumah di lingkungan mereka. Kehadiran punk memprovokasi kecurigaan langsung. Bobi dan Mike menimbulkan kekhawatiran khusus. Keduanya adalah anggota dari band punk marjinal dan pendiri Taring Babi kolektif, yang selama lebih dari 10 tahun telah melakukan agitasi melalui seni, musik dan protes atas nama komunitas punk Jakarta dan orang-orang dengan tato.Para punk menjadi topik gosip panas banyak dan rumor di kampung, sampai suatu hari kepala lingkungan yang disebut pertemuan. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan gangguan ini dengan kehidupan dinyatakan lancar dari komunitas PKL dan buruh. Sebuah konsensus dengan cepat mencapai bahwa 'bertato pemuda kriminal' yang sekarang tinggal di tengah-tengah mereka, dan bahwa mereka perlu ditendang keluar segera dalam rangka untuk menghindari 'kejadian tak diinginkan' dan untuk menjaga 'nama baik' dari lingkungan. Namun, sebelum massa main hakim sendiri diatur untuk membuang punkers keluar, pemilik rumah yang dikontrak diberi kesempatan untuk menyatakan kasusnya.Dia enggan untuk mengusir penyewa baru karena mereka sudah membayar kontrak mereka di seluruh muka. Terlebih lagi, mencari penyewa pengganti di lingkungan terkenal karena banjir dan penyakit-bantalan nyamuk tidak akan mudah. Jadi kepala lingkungan membuat konsesi, yang memungkinkan punk masa percobaan tiga bulan dan meminta Setiabudi warga tetap menutup mata pada mereka.Lega punk 'ini penangguhan hukuman sementara tidak berlangsung lama, karena mereka menyadari bahwa mereka menghadapi dinding prasangka dan prasangka. Mereka secara teratur mengalami komentar seperti "Mereka terlihat seperti para penjahat dilaporkan dalam surat kabar, 'dan' Saya pikir saya melihat dia di Sergap atau Patroli! 'Mengacu populer acara TV kejahatan sehari-hari. Sikap terhadap punk dari komunitas adalah salah satu permusuhan dan penolakan. Para punk marjinal menghadapi fundamental tetapi semua tantangan terlalu akrab, bagaimana untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat luas di mana mereka tinggal. Itu sulit untuk menegosiasikan kenyataan bahwa di mata warga tato mereka menandai mereka sebagai penjahat, penjamin bukan hanya undangan terbuka untuk menghina dan menghakimi mereka, tetapi juga fobia yang mereka entah bagaimana menjadi ancaman.

    
Di mata para penduduk tato ditandai mereka sebagai penjahatMike mencari jalan keluar dari kebuntuan ini, "Kita tidak bisa membiarkan ini terus tanpa melakukan sesuatu. Jika tidak, hal ini akan meniup keluar dari kendali dan akhirnya memakan semua energi kita 'The punk marjinal telah menghadapi pengalaman pahit serupa.. Beberapa kali sebelumnya, mereka telah menolak kontrak rumah karena penampilan mereka dan tato. Namun mereka juga menerima bahwa mengingat stereotip yang berlaku di sekitarnya tato, itu dapat dimengerti bahwa warga ingin tahu persis siapa marjinal dan apa yang mereka lakukan. Kesulitan untuk punk adalah menemukan kesempatan untuk menunjukkan kepada mereka.The kriminalisasi tatoMenurut Mike, 'adalah The stigma negatif kita telah diberi label dengan tidak hanya muncul entah dari mana, tetapi hasil dari kondisi tertentu yang diciptakan dari waktu ke waktu oleh sistem politik, media, dan melalui penggunaan teror dan kekerasan. "Dia menambahkan," Ingat, di masa lalu ada yang disebut penembakan misterius mereka dengan tato yang dianggap kriminal dan mantan-kontra 'Antara tahun 1983 dan 1984 ada pembantaian skala luas dari ribuan pura-pura' penjahat 'oleh. negara Orde Baru. Umumnya dikenal sebagai Penembakan Misterius atau Petrus (akronim dari Penembakan Misterius), para korban, banyak dari mereka yang bertato, dibunuh secara brutal oleh perwira militer mengenakan pakaian sipil. Pria bersenjata di jip akan datang ke rumah korban larut malam, berulang kali menembak atau menusuk mereka, dan kemudian membuang mayat di jalan atau sungai untuk semua untuk melihat.

    
Memakai tato adalah, dan masih bagi banyak orang, untuk memberontak melawan tabu dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat 'lurus'Pada saat itu, banyak mayat bertato itu muncul di seluruh negeri, dan grafis dilaporkan setiap hari di surat kabar. Meskipun awalnya menyangkal terlibat dalam pembunuhan, pemerintah akhirnya mengakui berada di belakang mereka. Para korban yang disebut sebagai 'gali,' singkatan untuk 'pembohong Anak Gabungan': geng anak-anak liar. Banyak dari gali adalah penjahat kecil dan anggota geng, sejumlah besar dari mereka juga bekerja sebagai preman bayaran bagi pemerintah dalam pemilu 1981 sebelum menjadi 'memotong longgar' dan kembali ke jalan.Dalam biografinya, Presiden Suharto menyatakan bahwa mayat korban Petrus sengaja dibuang di depan umum sebagai bentuk 'terapi kejut'. Ini 'terapi' tidak diarahkan semata-mata pada apa yang disebut penjahat, tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Mayat-mayat yang tersisa untuk semua untuk melihat, Suharto menambahkan, "agar setiap orang mengerti bahwa dalam menghadapi kriminalitas ada seseorang yang dapat mengambil tindakan dan mengatasinya '. Mayat-mayat bertato dari mereka dibunuh menjadi penanda yang mengingatkan akan kekuasaan negara. Ini disebut geng anak-anak liar tidak menghadapi pengadilan hukum, mereka diberi label kriminal dan 'dihukum' berdasarkan apa yang dianggap sebagai penanda simbolik kriminalitas tertulis di tubuh mereka. Tanda ini dijamin eksekusi meskipun pembawa mereka tidak memiliki telah dihukum karena kejahatan apa pun.marjinal1.jpg
   
Tato tidak kriminal!
   
Kolektif marjinal PunkTentu saja tidak semua orang dengan tato adalah seorang kriminal. Generalisasi negatif tentang tato yang muncul selama ini adalah produk dari politisasi tubuh dimana kulit tato dari gali diubah oleh negara menjadi alat kontrol dan digunakan untuk lebih kekuasaan yang sah. Media memainkan peran sentral dalam dehumanisasi dari gali tato, dengan laporan sensasional dari mayat anonim, menyangkal suara dan identitas individu. Kondisi ini menciptakan trauma psikologis yang sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap mereka dengan tato. Seperti Mike menjelaskan, persepsi masyarakat Mainstream tato mengenai dibangun selama ini, dengan hasil bahwa tato dianggap tanda jelas dari amoralitas, kekerasan dan kriminalitas. "Membuka pintu dan pikiranDalam rangka menghadapi ini persamaan tato dengan kriminalitas dan kekerasan dalam pikiran masyarakat, kolektif marjinal memutuskan bahwa mereka harus membuat diri mereka 'transparan' kepada masyarakat. Mereka mengadopsi kebijakan open house dan membuat kebiasaan melakukan screen-printing mereka, cetakan karya seni grafis linoleum dan seni lainnya di depan rumah. Seperti Bobi menjelaskan, "Kami membiarkan tetangga kita melihat apa yang kita lakukan. Pada awalnya mereka hanya akan menyelinap mengintip atas dinding. Setelah beberapa saat, beberapa mulai datang untuk melihat lebih dekat. Kami terbuka dan ramah, memperkenalkan diri, menawarkan kopi dan mengobrol 'Selama bulan-bulan mendatang warga Kampung Setiabudi diam-diam mengamati kegiatan punkers.. Segala sesuatu yang mereka lakukan menjadi obyek diskusi, debat dan bunga. Perlahan-lahan, stereotip mulai larut.Lalu suatu hari kesempatan muncul untuk punks untuk menggosok bahu dengan masyarakat dan mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat. Lingkungan berencana untuk membangun sebuah jembatan di atas sungai kecil yang memisahkan kampung dari kampung tetangga Setu Babakan. Setelah mendengar berita tentang rencana, kolektif marjinal mengadakan pertemuan di mana mereka dengan suara bulat memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan jembatan. Seperti Bobi menyatakan, "Kami menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat bagi kami untuk menunjukkan bahwa kami tidak hanya bukan penjahat, tetapi juga anggota produktif masyarakat berkomitmen untuk kesejahteraan kolektifnya. 'Mike mengatakan kepada kolektif," Kami memiliki untuk keluar sana dan membantu, bahkan jika beberapa akan menuduh kami mencoba untuk mendapatkan wajah. "The punk menggosok bahu dengan pemuda kampung lainnya, pencampuran semen dan membawa bahan bangunan, sementara perempuan lokal menyiapkan kopi, tahu goreng dan ubi jalar.Pada tanggal 11 Januari 2004 jembatan yang sangat dihargai menghubungkan dua lingkungan selesai. Dalam proses jembatan lain telah dibangun antara warga kampung dan punk marjinal. Setelah itu, anak-anak lokal dan orang tua mereka mulai teratur nongkrong di rumah marjinal, mengambil bagian dalam lokakarya screen-printing dan karya seni grafis linoleum.Advokasi melalui seni dan musikmarjinal2.jpg
   
Masberto: masyarakat bertato. Melalui seni dan musik
   
kolektif pendukung atas nama orang dengan tato
   
Kolektif marjinal PunkKolektif marjinal juga pendukung atas nama orang-orang dengan tato melalui seni dan musik. Marjinal telah menghasilkan berbagai poster, layar-cetak dan mencetak karya seni grafis linoleum yang menangani masalah stigma yang melekat pada tato. Misalnya satu cetak karya seni grafis linoleum menunjukkan tato tangan mengepal dikelilingi oleh api dengan slogan 'Tato tidak kriminal!' T-shirt desain dengan tema yang sama dapat dilihat dikenakan oleh pemusik dan anak-anak jalanan yang berkeliaran di Taman Ismail Marzuki pusat seni, menghantui reguler kolektif marjinal. Kesulitan yang dihadapi orang-orang dengan tato juga merupakan subyek lirik marjinal itu. Satu lagu punk marjinal bernama 'Masberto,' singkatan dari 'Masyarakat bertato' (tato masyarakat), menceritakan pengalaman seorang pemuda yang ditolak oleh calon mertuanya karena tato nya;Ekspresi memutar dan kata-kata menunjukkan mereka menganggapnya jahat,Tidak aneh bagi telinga, pada kenyataannya itu diterima sebagai budaya,Bahwa mereka dengan tato adalah penjahat atau orang-orang berdosa,Tidak bisa mendapatkan pekerjaan, pacarnya diambil kembali oleh orang tuanya,Karena tubuhnya penuh dengan tinta berwarna.Apakah tato bekerja atau mengambil tindakan? Tidak ada!Apakah tato membunuh atau memegang senjata? Tidak ada!Stereotip Rotten diciptakan oleh media,Via cerita sensasional pendek pada data,Ini menyedihkan untuk berpikir tato dianggap kriminal.Pada kenyataannya mereka dengan tato yang benar-benar independen,Mengekspresikan kreativitas melalui tubuh mereka.Masberto, kami bangga untuk dibuatkan tato ... Anda harus tahu!Masberto, kita tidak memakai dasi dan kami tidak pencuri ... Anda harus tahu!Masberto, masyarakat bertato bukan penjahat ... Anda harus tahu!Masberto, tubuh kita mungkin akan ditato tapi tidak hati kita ... Anda harus tahu!Ini adalah budaya kita ... yeoooow!

    
Pada kenyataannya mereka dengan tato yang benar-benar independen, mengekspresikan kreativitas melalui tubuh mereka

 
Sebelum tato datang dianggap trendi dan modis di antara perkotaan Indonesia kelas menengah dan elite, karena mereka semakin sekarang, tato yang erat diidentifikasi dengan budaya pemberontakan dan revolusi. Stereotip negatif masih lazim di masyarakat arus utama, dan larangan tato dalam Islam dan agama-agama lain, telah membantu untuk mengkonsolidasikan citra tato sebagai sesuatu yang dilarang, 'haram' dan berbahaya. Memakai tato adalah, dan masih bagi banyak orang, cara untuk memberontak melawan tabu dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat 'lurus'. Mereka yang telah terpinggirkan oleh masyarakat terus mendapatkan tato sebagai simbol kuat pemberontakan dan kemandirian. Anak-anak yang telah terbuang atau ditolak oleh keluarga mereka, seperti anak-anak jalanan dan punk muda yang berduyun-duyun ke rumah marjinal, mendapatkan tato sebagai tanda tak terhapuskan kebebasan mereka.

marjinal


SEBELAS TAHUN MARJINAL

Pada bulan Desember 2007 yang lalu, Marjinal bermain musik pada gelaran pameran bertajuk Ibumi – ibu bumi, di sculpture park Garuda Wisnu Kencana, Jimbaran, Bali. Pameran yang melibatkan seniman dari Bali, Yogyakarta dan Bandung itu adalah rangkaian gelaran kesenian yang bertepatan dengan Konferensi Perubahan Iklim (Climate Change Conference),yang melibatkan sebanyak 189 negara anggota PBB yang konsen terhadap lingkungan.

Dipilihnya Bali sebagai tempat konferensi tersebut karena Bali dipandang memiliki konsep hidup untuk mencintai lingkungan, melalui “Tri Hita Karana”, hubungan harmonis dengan lingkungan, antarmanusia dan Tuhan.

Dengan gitar dan jimbe yang ditabuh rampak, Mike dan Bob menyanyikan Hukum Rimba, Negri Ngeri, Marsinah, dll. Marjinal cukup membetot perhatian hadirin.
“Baru kali ini kita main di acara pameran, di depan seniman,” ujar Bob seusai bermain musik.
Kemudia dia dan Mike bersama para seniman berjalan sejauh duaratus meter menuju tanah lapang yang dipeluk bukit-bukit kapur Jimbaran. Di sana, para seniman dan siswa-siswa dari sekolah-sekolah di Jimbaran, menanam ratusan bibit pohon damar.
Marjinal berkesempatan pula berkolaborasi dengan sekeha gong Banjar Ungasan-Jimbaran, yang memainkan gambelan Bali. Mike dan Bob menabuh jimbe bersahut-sahutan dengan suara kendang, kencreng dan gong. Suasana semakin hangat. Gerimis pun urung turun di bukit-bukit Jimbaran.
Di tempat yang lain, di Nusa Dua, para pemimpin dunia sedang mengadakan konfrensi. Pemanasan bumi (global warming), menjadi topik utama. “Ini momen kita menyuarakan kepada dunia, perlu ada sistem yang baru untuk menyelamatkan bumi dari emisi gas rumah kaca. Amerika harus mendengar jeritan umat manusia. Indonesia jangan sampai cuma ketiban malapetaka akibat nafsu buta industri mereka,” kata Mike kepada para seniman.
Pelbagai bencana alam di Indonesia, menurut Mike, adalah akibat dari sistem yang yang mengedepankan ketamakan manusia. Pohon ditebang. Terumbu karang hancur. Tanah longsor. Banjir, dll.
“Gue ingat kampug kita, jadi langganan banjir,” celetuk Bob.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, para seniman berkesempatan berziarah di desa-desa yang tertelan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Matahari bersinar sangar. Panas menyengat. Kubah sebuah mushola nampak menyembul. Di sudut lain nampak pucuk atap-atap rumah. “Di sana pabrik tempat Marsinah bekerja,” ujar seorang tukang ojek, telunjuknya mengarah pada atap seng yang sedikit menyembul di padang lumpur panas. Asap masih mengepul. Marjinal menyenandungkan Marsinah, sebuah ode untuk buruh perempuan yang mati memperjuangkan hak-hak buruh itu.
Tiba-tiba seorang mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, yang mempunyai masa kanak-kanak di sebuah desa yang kini tertelan lumpur panas, spontan membuka busana. Mulutnya menggumamkan lata-kata, mungkin mantra. Ia ingin menggelar performance art. Tapi dengan sigap dicegah aparat yang membopongnya menjauhi lumpur panas. Asap lumpur masih mengepul. Sang seniman histeris. Meradang. Menerjang. Para seniman yang lain menenangkan.
Rombongan melanjutkan perjalanan.
Di Yogyakarta, Bob dan Mike berkolaborasi dengan pelukis Dipo Andi. Mereka menuangkan perjalanan ziarah ke lumpur panas Lapindo dalam sebuah lukisan. Bob melukis wujud tengkorak berdasi. Dipo Andi membuat sapuan bidang dan garis lalu membubuhkan tulisan BAH NERAKA. Mike menuliskan lirik lagu Luka Kita. Novelis Muhidin M. Dahlan tak ketinggalan menuliskan kalimat yang ia kutip dari Mahatma Gandhi:” Bumi adalah sorga/ yang rusak jadi neraka/ oleh orang-orang dungu hiruk-pikuk…
Di penghujung 2007, Marjinal pulang kampung, kembali ke markas di Setu Babakan, Jakarta. “Gue kangen nyokab,” kata Bob, yang merindukan bertemu ibunya. Sedangkan Mike menyiapkan acara mancing bersama warga di sebuah empang yang dikelola secara swadaya. “Mancing itu kebutuhan. Sambil merenung dan melatih kesabaran. Baru kepikiran… Marjinal udah jalan sebelas tahun…,” kata Mike sambil menghela nafasnya.
Sebelas tahun Marjinal berjalan. Ibarat seorang bocah yang lagi gesit-gesitnya, ingin mencoba ini dan itu dengan rasa ingin tahu nan besar. “Marjinal sebagai komunitas memang sebelas tahun jalan, tapi yang terlibat di sana kan udah bukan bocah lagi. Komunitas ini bukan ruang bermain bocah lagi, tapi jadi suatu jalan hidup,” tutur Mike.
Menurut Mike, apa yang dicapai Marjinal hari ini adalah tidak lepas dari dukungan warga kampung Setu Babakan.
Marjinal telah merilis empat album: Ditindas atau Bangkit Melawan, Anty Military, Termarjinalkan dan Predator. Melalui lagu-lagu yang dikumandangkan empat album itu, Marjinal mulai dikenal publik, khususnya scene punk.
Sebagian besar publik mengetahui Marjinal hanya dari lagu-lagunya. Mereka gak tahu, personil Marjinal seperti apa. Publik baru tahu kemudian setelah Marjinal diundang manggung di beberapa gelaran musik (gigs) di beberapa daerah, sampai ke kampung-kampung di pojok paling pelosok Indonesia. Ketika bertemu player Marjinal, orang-orang makin suka karena mereka mudah diajak bersahabat.
Dalam setiap gigs, Marjinal selalu membuka work-shop cukilan kayu dan cetak sablon. Pada waktu tertentu kadangkala diisi diskusi yang serius. Atau sekadar bincang-bincang santai. Ternyata Marjinal jenaka pun bisa!
Awalnya, orang kalau melihat sosok Mike yang tinggi atletis dengan tattoo yang tergambar di pergelangan, leher hingga kepalanya, yang dilebati rambut gimbal, bikin orang ketar-ketir juga. Tapi begitu melihat seulas senyum dan vokalnya yang rada empuk bersahabat, orang-orang pun mendekat menjabat tangannya. Atau saling bertegur-sapa.
Sedangkan dengan Bob, walau sekujur tubuhnya dirajah dengan ornament tribal serta gambar pencakar langit plus Monas di betisnya… Bob langsung menyapa dan mendekat pada orang-orang yang rada canggung. Bob langsung mengajak bercanda-ria dan menyanyi bersama.
Publik pertamakali mengenal Marjinal, tentu saja, dari lagu-lagunya. Empat album yang telah dirilis beredar di lapak atau distro, bahkan dari tangan ke tangan, namun kini sudah dibajak pula dan beredar di kakilima di pelbagai pojok pelosok Indonesia. Selain itu, publik mengenal Marjinal dari desain cetakan sablon di kaos, yang merupakan bentuk aplikasi karya seni grafis cukilan kayu Marjinal. Kaos desain-desain Marjinal pun kini telah dibajak dan beredar di kaki lima di pelbagai pojok pelosok Indonesia.
“Sampai saat ini kita biarin karya kita dibajak. Hitung-hitung bagi-bagi rejekilah! Itu salah satu bentuk kemenangan komunitas punk, bias diterima secara luas,” ujar Mike sambil terkeh-kekeh.
lirik lagu-lagu Marjinal, menurut pengakuan sebagian besar kaum muda, sangat mewakili kenyataan hidup mereka yang termarjinalkan. Lirik-lirik lagu itu menggedor kesadaran mereka, agar melihat kenyataan lingkungan lalu bangkit menolong diri sendiri. Lagu-lagu itu memberi inspirasi agar kaum muda hidup mandiri.
“Marjinal itu purba banget,” kata seseorang pemuda dari Indramayu, yang enggan disebutkan namanya.
Lho, kok purba?
“Ya, sebagian besar publik pendengarnya tahu Marjinal cuma dari lagu-lagunya,” kata pemuda itu. Ia pun bersama beberapa temannya ketika liburan pergi ke markas Marjinal di Setu Babakan. “Kehidupan orang-orangnya sama persis kayak lagu-lagunya!” katanya.
Yup! Publik mengenal Marjinal dari lagu serta karya seni grafis, cukilan kayu yang diaplikasikan dalam sablon kaos, emblem dan pin. Sebagian besar karya cukilan kayu itu adalah bentuk narasi senirupa yang bersumber dari lirik-lirik lagu Marjinal. Mereka menyadari, lagu dan visual art sebagai media yang sangat ampuh membangun kesadaran kaum muda.
“Kita gunakan ruang publik kota sebagai tempat pameran. Kita berkompetisi dengan media visual yang lain, seperti iklan dan program pemerintah. Poster cukilan kayu dan stensil kita gunakan buat media penyadaran agar kita tidak melulu konsumtif. Kita anti konsumerisme yang selalu diiklankan di ruang public. Makanya kita harus berani merebut ruang publik sebagai ruang media visual kita!,” ujar Bob yang seringkali menggelar karya komik, cukilan kayu dan stensil di beberapa stasiun kereta api.
.
Kita berada di tengah kultur visual abad 21. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menjelma dunia jadi medan kecamuk citra. Pada abad digital ini tiap detik dunia digempur oleh citra yang datang-pergi silih berganti dengan agresivitas dan intensitas tinggi. Invasi citra kini telah dan makin jauh menembus teritori realitas. Dengan kapasitasnya melesatkan imajinasi tanpa batas, citra mampu memanipulasi realitas, atau bahkan menggantinya dengan realitas rekaan yang lebih “real”, lebih meyakinkan, lebih otoritatif.
Tapal-tapal batas antara yang natural dan artificial, antara yang “sungguhan” dan “bohongan”, bukan saja semakin kabur, tapi juga tidak relevan lagi.
Menjadi penghuni pada zaman ini berarti hidup dalam sebuah kebudayaan didominasi gambar, simulasi visual, stereotype, ilusi, reproduksi, imitasi dan fantasi. Masyarakat pascamodernisme dewasa ini dihidupi dan menghidupi rezim budaya citra, dengan citra visual sebagai panglima.
Dari halaman koran dan majalah, reklame di pinggir jalan, televisi, VCD, DVD, handphone, internet dsb, citra visual membanjiri seluruh dunia hingga ke pojok paling [elosok sekali pun, mengepung setiap individu dengan semua kekuatan seduktifnya berkembang biak dengan subur, teramat subur, over provokatif. Menginvasi segala sector kehidupan dan akhirnya menenggelamkan seluruh tubuh masyarakat kontemporer: mengubahnya jadi “masyarakat tontonan” (society of spectacle), sebuah masyarakat yang menggantungkan eksistensinya pada tampilan, kosmetik efek atraktif –spektakuler. Inilah masyarakat dimana kemasan lebih bernilai ketimbang isi, impresi lebih penting ketimbang esensi, visualisasi lebih berguna daripada kontemplasi.

***

Punk sebagai sebuah gerakan subkultur di Inggris dan Amerika muncul dari kantong-kantong kehidupan perkotaan (urban), muncul dari masyarakat industrial. Punk di Indonesia adalah hasil sebuah transformasi budaya akibat dari globalisasi arus bawah. Sebermula punk digandrungi kelas menengah-atas kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta atau Bandung, sebagai bentuk snobisme anak muda perkotaan. Tapi semanjak akhir 1990-an, subkultur punk menjadi sebuah gerakan subkultur yang merasuk sampai desa, kampung atau dusun di pojok pelosok Indonesia.
Beberapa scene punk di kota-kota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan sekarang secara berkala membuat gelaran musik (gigs), yang diikuti band-band punk dari desa-desa di sekitarnya. Sebagaian besar kaum muda itu hidup sebagai petani atau pedagang dengan latar budaya agraris yang kuat.
Secara tidak langsung, Marjinal memberi pengaruh terhadap tumbuhnya komunitas punk di Indonesia. Setidaknya, empat album Marjinal album musik punk rock awal yang liriknya menggunakan bahasa Indonesia. Marjinal juga menyuntik rasa percaya diri band-band lokal untuk menciptakan lagu sendiri dalam bahasa Indonesia, ketika band-band punk lokal berorientasi pada punk yang tumbuh di London atau New York.
Sepuluh tahun yang lalu,sulit membayangkan sebuah band punk menyanyikan lagu ciptaan sendiri yang berbahasa Indonesia. Marjinal membangun “rumah bahasa” dalam komunitas punk – bahasa Indonesia yang tidak mengalami birokratiasasi, bahasa Indonesia yang mengenali kembali rasa berbahasa, jauh dari slogan-slogan politik bahasa pemerintah yang memaksa warganya berbahasa Indonesia baik dan benar tetapi terasa garing, tanpa rasa. Sepuluh tahun yang lalu ketika band-band punk lokal masih berorientasi pada punk yang tumbuh di London atau New York.
Ketika Marjinal mencipytakan lagu berbahasa Indonesia dan menyanyikan di depan publik, mereka menuai cacian dan diremehkan. “Kok punk nyanyi lagu bahasa Indonesia,” kata Mike menirukan keluhan orang-orang ketika itu.
Scene punk sepuluh tahun yang lalu masih berkiblat pada punk di Barat. Mereka acapkali menyanyikan lagu-lagu Sex Pistols, Ramones, The Exploited, dll.
Ketika Marjinal menyanyikan lagu-lagu dengan tema kritik sosial, pun scene punk di Jakarta kaget-kagetan dan mencemooh, “Kok punk ngomongin politik!”
“Ketika itu sebagian besar band punk rock bicara kebebasan, yang fokusnya adalah hubungan lelaki dan perempuan, cinta-cintaan gitu lho. Kita menulis lagu kritik sosial. Atau lagu seperti Cinta Pembodohan yang mengkritik abis segala bentuk cinta-cintaan yang cemen itu!,” ujar Bob.
***
Sebelas tahun Marjinal berjalan melangkah tidak selalu ringan menganyun. Orang-orang datang dan pergi, hidup dan menghidupi komunitas ini. Marjinal selama sebelas tahun membangun “rumah bahasa” sekaligus menatanya, dengan nilai etos gerakan punk Do It Yourself (DIY), aktivisme politis di tingkat akar rumput yang memiliki cakupan luas dan terbuka dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Budaya DIY terutama mencuat pada 1990-an, di Inggris, ketika terjadi percampuran antara aksi protes (sebagai aksi politik langsung) dengan kegiatan pesta (aksi perayaan, festival). Budaya ini menyerukan gerakan counter culture atau underground di Amerika pada 1960-an, di mana politik dan pesta berbaur. Budaya DIY, di tangan Marjinal, menjadi ekonomi koperasi, pemenfaatan teknologi digital dan teknologi komunikasi untuk tujuan-tujuan masyarakat bebas, dan komitmen terhadap teknologi alternative. Mengembangkan sikap berdikari (berdiri di kaki sendiri), sikap independen, termasuk dalam hal memproduksi kebutuhan-kebutuhan estetis: musik fashion, rajah tubuh, aksesoris, buku dan komik.


- agak klise, tapi bisa cerita bagaimana marjinal terbentuk?

Bob OI: Marjinal dibentuk 11 tahun yang silam, pada 22 Desember — bertepatan dengan Hari Ibu di kalender nasional. Sebelas tahun yang lalu, kite ketemu di sebuah kampus grafika di Jakarta Selatan. Awalnya, gue pengen kuliah, tapi makin lama semakin nggak tertarik. Apa yang dipelajari di kampus udeh kita kuasai, gue udah gape menggambar, bikin desain, demikian juga yang laen. Kebanyakan kita ketemu ngobrolin situasi di luar kampus, yang atmospherenya represif, nggak bebas mengeluarkan pendapat atau berekspresi. Lalu kita bangun sebuah jaringan namanya Anti Facist Racist Action (AFRA), yang terlibat adalah kawan-kawan yang mempunyai kesadaran melawan sistem yang fasis banget.



Kita gunakan media visual, lewat poster dari cukil kayu, baliho dan lukisan yang menggugah kesadaran generasi muda, untuk melawan sistem fasis yang diusung Orde Baru. Selain melakukan diskusi, penerbitan newsletter, dan aksi turun ke jalan… Kita secara kebetulan gape juga main musik. Ya, dengan modal gitar n jurus tiga kunci, kita maen musik, bikin lagu sendiri yang berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari.


Mike Marjinal:Lalu kita namakan kelompok itu Anti Military. Dalam perkembangannya, Anty Military dipahami orang-orang sebagai sebuah band akhirnya… Padahal kita bukan anak band! Musik ini kan sebagai alat komunikasi kepada khalayak yang lebih luas, lebih asyik.. medium menyampaikan pesan dan jadi inspirasi untuk anak-anak di pergerakan ke depan, ketika melihat kenyataan kehidupan sosial-politik dikangkangi rejim yang fasis militeristik. Dari awal, kesadaran kita bukan sebagai anak band.


Setelah Harto digulingkan, kita melihat dimensi yang lebih luas lagi. Persoalannya bukan lagi rejim yang fasis dan rasis saja. Tapi lebih luas lagi… Negeri ini jadi negeri ngeri… Banyak tragedi, perang saudara, buruh-buruh diperas, dieksplioitasi, rumah sakit dan pendidikan begitu komersial, kereta-api sebagai sarana angkutan melayani orang seperti mengangkut binatang. So dari sistem yang fasis, anti demokrasi, terpusat dan korup.. kini menyebar ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Kita lupa bagaimana para pejuang dulu mendirikan Indonesia sebagai sebuah nation. Indonesia kan didirikan sebagai kesatuan dari tekad para pemuda yang beragam suku, agama, latar belakang sosialnya itu bersatu membangun sebuah nation! Lalu kita ganti nama, dari Anti Military jadi Marjinal. Kisahnya, ketika Mike dapat nama Marjinal, dia terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan yang mati disiksa militer,” Marsinah..Marsinah… MARJINAL” Kata Marjinal sendiri waktu itu kan belum banyak dipakai untuk menjelaskan posisi orang-orang pinggiran.


- marjinal mengangkat beragam isu sosiopolitikdalam lirik kalian. Bisa cerita

apa misi kalian sebagai band?

Mike Marjinal: Lagi-lagi harus kukatakan dari lubuk hati yang dalam, cieee: “Kita bukan anak band”. Sejak kita membangun AFRA kita memang punya kesadaran melawan sistem politik kotor di negeri ini, khususnya melawan ideologi fasis militeristik rejim Orba. Sejak menjadi Marjinal, kita kembali ke tengah masyarakat, belajar dari keseharian mereka sekaligus jadi inspirasi bagi lagu-lagu yang kita ciptakan. Lirik-lirik iitu kan mengangkat persoalan tetangga, kawan dan masyarakat kita. Kita cuma asal comot apa yang menjadi gelisahkan. Kita cuma jadi cermin, yang merefleksikan segala yang dirasakan masyarakat. Kita selama bertahun-tahun, di kolektif TaringBabi, hidup di tengah kampung Setu Babakan. Awalnya, mereka was-was melihat penampilan kita yang sangar, tapi lama kelamaan masyarakat merasa senang, karena kita ikut gotong-royong, membuat acara Agustusan, workshop sablon dan segala keterampilan cetak-mencetak. Setiap hari, puluhan anak-anak punk dari daerah mana aja datang ke TaringBabi, tapi masyarakat tidak lagi was-was. Pernah gue dengar ibu-ibu bilang,”Anak-anak itu rambutnya aja yang aneh, tapi hatinya baek….” Ibu-ibu juga nggak takut melihat tato, yang penting hatinya kagak bertato!


Dari sini kita kan bisa melihat hidup yang berwarna-warni, kita rayakan perbedaan dengan damai. Band Marjinal itu kan salah satu usaha kita berkomunikasi dengan masyarakat. Album atau kaset yang kita rilis secara indie juga diniatkan untuk membangun komunikasi. Kita nggak nyangka, Marjinal didengar sampai Pulau Siladen nun jauh di Sulawesi Utara sana. Ketika kita diundang main untuk scene punk Manado, kawan-kawan dari Kotamubagu datang, itu kan letaknya di pedalaman. Bayangkan, mereka datang jalan kaki. Ketika ketemu gue, ada yang langsung buka baju memperlihatkan tato bertuliskan Marjinal. Gue terharu, sekaligus bangga dengan semangat persekawanan ini…


Bob OI: Kita maen di mana aja, tidak untuk scene punk doang. Acara ulang tahun, perkawinan, peluncuran buku… Bahkan Mike sering bilang, acara apa pun kita main, ini ruang untuk berkomunikasidan silaturahmi, memperluas kesadaran kita sebagai nation, usaha kita saling belajar dan bekerja sama-sama. Pernah seorang guru, namanya Pak Sukri, dari STM YZA, Ciawi nyari-nyari alamat kita, nyasar ke sana-kemari, niatnya mengundang kita main untuk acara sekolahnya, karena murid-muridnya minta Marjinal main untuk acara perpisahan. Ditawari band lain, mereka nggak mau. Sebelum main, kita selalu membuat work-shop cukil kayu (wood cut). Mereka sangat antusias mencetak kaos polos dengan desain cukil kayu. Kalau ada waktu, kita bisa main di mana saja, asal kebebasan kita enggak dibelejeti. Karena dari kebebasan itu kita ada. Kebebasan yang mengatur diri kita sekaligus respect dengan kebebasan orang lain.


- Arti punk buat kalian?


Bob OI: Kita bikin desain kaos: Pemuda Urakan Nan Kreatif (PUNK). Ya, itulah tafsir kita untuk punk walau kata itu muncul pertama di Inggris dari sebuah karya William Shakespeare, The Marriage of Lady Windsor .Sebagai sub-kultur, Punk berkembang tahun 80-an. Punk sebagai gerakan mengunggulkan rasa toleransi dan kebebasan. Punk, sebagai sang pemula, yang pertama meneriakkan ketidakadilan dan perlawanan terhadap sistem yang korup.


-Apa arti menjadi politikal bagi kalian?


Mike Marjinal: Berusaha terlibat dengan realitas, melawan sistem yang korup, dan berusaha melakukan perubahan yang lebih baik dari hal yang terkecil, teman, keluarga, tetangga, dst.


-bagaimana kalian menjalankan etos dan prinsip yang tumbuh dan berkembang

dalam punk rock seperti konsep D.I.Y hingga beragam bentuk kesadaran
sosiopolitikal dalam keseharian baik secara personal maupun sebagai band?

Mike Marjinal: Do It Yourself itu kan sesuatu yang ideal, sehingga kita mampu berjalan di kaki sendiri, nggak tergantung dengan sistem yang nggak berkeadilan. DIY, sebenarnya kan sudah ada dalam etos perlawanan dalam budaya kita. Suku Samin di Jawa Tengah dan sekitarnya itu sudah DIY, membuat peradabannya sendiri ketika daerah-daerah lain ditindas kolonial Belanda. Mereka menanam benih, memanen dan membuat rumah secara bersama untuk kebutuhan bersama. DIY harus dilihat dalam konteks seperti itu di sini. Kita kan nggak harus copy-paste DIY yang ada di England sono, yang ditafsirkan hanya anti ini dan anti itu. Menurut gue sih, DIY itu bertolak dari Kebebasan. DIY itu bukan aturan dan aturan, seperti menolak media mainstream, TV, sponsor, dlsb. Semua hal harus dilihat hubungan sebab dan akibatnya, bukan cuma slogan anti ini dan anti itu: anti TV nasional sini tapi nongol di TV asing dengan alasan solidaritas internasional. Ini sih cipoa! Gue prihatin dengan kondisi kayak gini. Sudah lama scene punk nggak pernah mendiskusikan hal-hal yang mendasar seperti ini. Ayo kita bicara, dengan argumen yang cerdas. Tahun lalu, sebuah televisi swasta nasional meminta Marjinal sebagai nara sumber untuik sesi acara bertajuk Punk. Kru TV datang ke kita, bertanya ini dan itu dan membuat liputan kegiatan sehari-hari di kolektif TaringBabi. Ya, kita menerima dengan terbuka dan apa adanya. Tapi sebelum acara itu ditayangkan, Marjinal disembur fitnah yang keji, dianggap tidak DIY karena bekerjasama dengan media mainstream…Blaut! Kita jadi narasumber bukan untuk promosi album atau ngomong tentang isi perut band, tidak! Jadi, semua itu harus dilihat konteksnya, hubungan sebab dan akibatnya. Kalau kita kerja kita dapat duit, tapi kalau kita diundang main band, coba aja tanya yang ngundang, kita nggak pernah memberatkan tuan rumah. Paling-paling cuma dapet ongkos balik, sekedar makan-makan bareng sedunia ha..ha..ha..


Selama ini, kita hidup bukan dari band. Kita bertahan hidup dan menjalankan aktivitas dari karya yang kita jual. Desain, sablon kaos, kaset,atau nyari duit di luar. Gue kadang ngajar atau dapat kerjaan menggambar di sekolah-sekolah. Gue melukis potret. Ableh selain nyablon juga ngojek. Begitulah kenyataannya… Lagi-lagi harus ogut bilang, “Kite bukan anak band”


-pandangan akan kondisi obyektif scene punk rock lokal sekarang?


Bob Oi: Ada yang hilang dalam scene punk sekarang: diskusi. Dulu kan sempat banyak zine yang terbit, sekarang terbit tempo-tempo dan banyak nggak terbitnya, kalau pun terbit materi tulisannya adalah tulisan-tulisan yang lama, itu pun sebagian besar hasil terjemahan dari zine luar, ya… masih copy-paste!


Implikasinya scene punk nggak pernah belajar mendiskusikan persoalan-persoalan yang mendasar, misalnya tafsir tentang DIY di Indonesia dalam konteks sekarang ini. Scene punk masih bergairah dengan fashion-nya, itu yang kenceng… Padahal itu kan semua simbolis sifatnya, yang harus diungkap menjadi sebuah pengalaman dan kesadaran. Kenapa rambut mohawk ala Indian, misalnya, itu suatu bentuk solidaritas terhadap suku Indian di Amerika yang tertindas dan termarjinalkan. Mengapa punk pakai sepatu boot… Itu suatu perlawanan terhadap militer, kita pakai atribut sepatu boot untuk nginjek lumpur jalanan pasar, ngebersihin got, nginjek tokai! Yang kayak-kayak gitu belum dipahami… Orientasi punk di sini masih sebatas ngeband, main musik, ngobrolnya atau gosip=gosipnya pun masih seputar itu. Punk rock itu genre musik titik. Sedangkan punk adalah way of life, yang ngebentuk karakter kita untuk terus melawan terhadap sistem yang nggak berkeadilan dan mandiri: Pemuda Urakan Nan Kreatif, yang mengedepankan kesetaraan, menolak hirarki. Jadi nggak ada senior dan junior dalam scene punk. Semua bisa saling belajar. Bukan saling menindas, dengan melarang ini dan itu. Tidak ada polisi dalam scene punk. Kalau punk penuh aturan dan aturan yang memblejeti kebebasan… Gua orang pertama yang menyatakan diri bukan punk! Mendingan jadi nelayan di Cilincing mancing ikan di tengah laut, nggak ada yang ngelarang!


-Seberapa besar ekspektasi kalian bahwa musik kalian bisa membawa perubahan

dalam masyarakat?

Mike Marjinal: Harapan terhadap perubahan yang diekspresikan lewat musik selalu menggelora di jiwa kita. Ketika sistem yang menindas dan korup ini merajalela, orang-orang kan selalu gelisah mencari katup pembebasan, minimal lewat musik yang didengar nyangkut di hati menjadi inspirasi untuk perubahan hidup yang lebih baik. Semua itu menjadi kesadaran yang ngasih energi, daya hidup, agar tetap survive di tengah negeri ngeri ini, dan bangkit untuk memperbaiki apa yang rusak atau selesai dalam diri kita, rumah dan lingkungan kita. Musik membentuk karakter individu yang kuat, memimpin dirinya atau rumahtangga/lingkungannya melakukan perubahan. Dari individu-individu berkarakter inilah akan dihasilkan kolektif yang kuat saling berbagi dan menolong yang lemah atau miskin. Kemiskinan kita kan tidak alamiah. Bayangkan Indonesia kan kaya, tapi kenapa kita miskin? Karena individunya lemah. Kita terlalu asyik bergerombol nonton orang ngeduk kekayaan Indonesia, kita lebih senang ongkang-ongkang dapat komisi 10 persen, yang kemudian diributkan. Hentikan itu semua! Ayo, kerja! Kalau kita kerja, niscaya karakter kita kuat! Sukarno dulu sering bicara tentang Berdikari, berdiri di kaki sendiri. Jauh sebelum DIY dikumandangkan di England sono!


Marjinal peduli dengan nation ini. Kita berusaha menulis lirik dalam bahasa Indonesia, karena kita peduli dengan nation ini, ingat Sumpah Pemuda. Awalnya, banyak yang mencibir, kok band punk liriknya pake bahasa Indonesia! Musik bagi kita kan salah satu jalan untuk berkomunikasi. Liriknya harus dipahami orang Indonesia dong. Musiknya boleh aja gado-gado, mau gambang kromong kek atau pake calung seperti Punk Lung dari Cicalengka, itu sangat kreatif, Atau terpengaruh geberan band-band punk sono, tapi lirik harus bahasa Indonesia walaupun nggak harus benar dan baik seperti yang dislogankan pemerintah. Musik itu selain enak didengar, untuk senang-senang tapi harus punya tujuan yang jelas yang diungkapkan lewat pesan yang memberi inspirasi untuk masyarakat. Kita meniru jejak Benyamin S. Semangat bang Ben serta perjuangannya, kita ambil. Terlepas genre musiknya, Benyamin.S bisa dibilang punk sejati.


-Selain lewat musik apa aksi konkrit kalian untuk mengaplikasikan lirik dan

kesadaran sosiopolitik yang kalian sampaikan?

Bob OI: Aksi kongkrit kita, ya lebih dekat dengan masyarakat dengan membuka ruang-ruang kreatif: bikin workshop cukil kayu di gigs, ikut aktif dalam kegiatan gotong-royong. Bikin pelatihan keterampilan sablon, creative-writing, teater, melukis dan berpameran di ruang-ruang publik dan sekolah. Selain membuka ruang dialog dengan memaksimalkan media audio-visual, kayak bikin film pendek tapi bukan pendek pikiran lho.. he..he…he… Semua itu sebagai langkah awal untuk berdialog dengan masyarakat. Tujuannya bukan cuma hal yang politis doang, kita belajar, berkarya, dan bekerja sama-sama. Sehingga masyarakat terlibat dalam proses kreatif kita!


-Bagimana masyarakat disekitarnya memandang dan menerima kalian?


Mike Marjinal:Masyarakat, terutama ibu-ibu, sayang banget ama Marjinal. Kalau kita bikin acara, ibu-ibu di Gang Setia Budi, Srengsengsawah yang bantuin masak-masak. Ibu-ibu pun latihan bina vokalia bareng kita untuk kegiatan panggung Tujuhbelasan. Anak-anak muda mulai belajar nyablon, bikin tato temporer atau bikin distro di sekitar danau Setu Babakan, daerah tujuan wisata lokal itu karena di sono ada wisata perkampungan Betawi.


Bob OI: Pernah sekali gue bawa ransel gede lewat gang mau ke jalan raya. Ada yang nanya mau kemana, tiba-tiba mood becanda gue kumat,”Saya mau pindah, Bu! Kebetulan nih mau pamitan sekalian…” Ibu itu langsung protes: gue nggak boleh pindah rumah, karena dia demen ngeliat keberadaan punk di Gang. Setiabudi. Dia langsung narik-narik ransel gue sambil mau nangis. Akhirnya, gue nggak tega, gue bilang sebenarnya isi tas itu cuma kaos-kaos yang mau didistribusikan ke distro-distro, si ibu pun baru bisa ketawa… Begitulah, kita banyak berhutang budi dengan masyarakat di sana. Ada Babak Jaya yang sudah kami anggap orangtua, ada Pak Maman yang punya kontrakan yang ngasih kebebasan menggunakan rumah itu untuk aktifitas work-shop anak-anak muda, ada anak-anak TK dan SD yang datang tiap sore latihan main jimbe, ada tamu-tamu dari Jerman seperti Mash mahasiswi antropologi Humbolt University, Berlin yang sedang bikin penelitian tentang komunitas punk di Indonesia, atau tamu dari Amerika, Kanada, Prancis, dan tamu-tamu silih berganti kawan-kawan street punk atawa punk kentrung dari Kali Pasir, Jembatan Lima, Kota, Senen, Manggarai, Matraman, Blok M, Meruya, yang datang tukar cerita setelah seharuian ngamen atau kawan-kawan scene punk dari daerah: Porong, Mojokerto,Malang, Blitar, Sukabumi, Bandung, Indramayu, Makasar, Manado, Medan, Pontianak, Ambon, Lampung, Palembang, Batam, sampai Sorong-Papua.


- ada informasi tambahan, rencana kedepan atau proyek lain?


Mike Marjinal: Setelah tour silaturahmi maen di beberapa kota tahun ini: Makasar, Manado, Kotamubagu, Pulau Siladen, Sukabumi, Bali, Cirebon, Bandung, Jampang dan beberapa gigs di pelosok Jakarta, kita sekarang mempersiapkan ngegarap album kelima, masuk studio rekaman di rumah kediaman almarhum Pramoedya Ananta Toer, yang kebetulan cucunya, Adit, adalah drumer Marjinal. KIta juga lagi bergerak berkarya, bikin cukil kayu (wood cut), selama ini karya yang udah banyak tersebar itu akan dipamerkan bulan November di Galeri Nasional, Bentara Budaya Kompas dan Galeri Inisiatif Independent yang diorganisir budayawan Taufik Rahzen. Dateng ya ke pameran ntar… Ada work-shop segala, pokoknya mantrapsss! Selama sebulan bikin pameran di tiga tempat sekaligus!!!! Habis kita kelamaan moloooorrr, sekarang ayo bangun! Banguuuunnn! Mantraps

Selasa, 19 Februari 2013

 
 
Berawal pada tahun 1996 ketika sebuah band Speed metal (Soul of speed), Band Festival yang lumayan diperhitungkan oleh band band festival di Bali bahkan di pulau Jawa. Karena Seringnya menjuari beberapa Festival seJawa Bali.
Leo sang Gitaris rock kental yang hampir menyabet gelar Gitaris terbaik di setiap festival, menjadikan Band ini semakin dikenal di kalangan musisi berilmu tinggi.
Komang Kape bekas bassis band punk rock, pelan tapi pasti mampu mengimbangi kemampuan sang gitaris dengan American jazz bass nya.
Gus Tut Drumer death metal dengan kecepatan double pedal nya memberikan tempo cepat dan harmoni yang benar benar gagah di setiap pertunjukan.
opik front man vocalis berbakat dengan suara tinggi mengundang teriakan histeris para wanita.
Di tahun 2000 keluar nya sang drummer membuat band ini kehilangan arah dan itu berlangsung lumayan lama! Tapi di tahun 2002 kemudian posisi Drumer digantikan oleh
Ajie rock'n roll yang pelan pelan mempengaruhi warna musik SoS, kala itu kita menyebutnya RockNroll Punk ala The living end.
Tahun 2003, Mulai dari sinilah perjuangan Suicidal Sinatra dimulai,satu tahun berjalan akhirnya th 2004 kita merilis mini album 8 lagu Valentin Ungu. dan memberikan warna baru di pasar musik indie nasional. Di buat terbatas 700 keping habis dalam beberapa bulan. Th 2005 Suicidal Sinatra kembali meluncurkan mini album 5 lagu Love Songs & Stinkin' Cheese. Tentu saja di sikat habis, berbekal album inilah Sinatra mulai menjajal panggung Nasional. Kabar baik datang di tahun 2006 salah satu lagu kami White Shoes dilirik oleh label Jepang untuk sebuah kompilasi Tropicalize vol. II, bersama band ternama dunia macam Jack Johnson dan Pennywize. Dengan api semangat yang membara dan membakar jiwa kami, Sinatra kembali melempar Boogie Woogie Psychobilly irama gelap lirik sosial pembrontak pertengahan tahun 2007 dibawah payung Ellectrohell record. Dalam format kaset atau tape. Dengan keluarnya album ini sepak terjang Sinatra di nasional semakin menjadi jadi.
Di tahun 2008 Opik sang vocalis terjebak dalam Delima harus berlayar dan meninggalkan Suicidal Sinatra. Keluarnya sang vocalis membuat kami terpuruk dalam ketidak jelasan. Kami bingung, tawaran manggung datang dan tidak bisa di tolak. Dengan semangat baru kami memutuskan,,.! Leo, pemuda pendiam dan tidak pernah ngomong sepatah kata pun di atas panggung harus bisa jadi vocalis. Kerja keras Leo membuahkan hasil th 2010 Label jepang kembali membawa Sinatra dalam kompilasi Slaper Asia. bersama beberapa band rockabilly asia.


Pertengahan 2010 tanpa ragu ragu Sinatra merilis album baru LOS SINATRAS Rock'Nroll not for sale. Album ini tidak dijual belikan alias gratis, yang kami uploud di salah satu situs jejaring sosial. sebagai tanda terima kasih kami kepada Los Sinatras (sebutan Fans Suicidal Sinatra) yang selama ini tetap menyalakan api semangat Suicidal Sinatra.
Album LOS SINATRAS Rock'Nroll Not For Sale berisi 5 lagu baru. Masa Kecil , Anak Rock, Hope, Los Sinatra dan I'm A Soldier. Bertemakan semangat perjuangan dan kasih sayang pada sahabat, anak anak dan keluarga dengan harapan tidak ada lagi kekerasan dimuka bumi ini. Bertempo sedang dan irama riang menjadikan album ini sangat mudah di dengar. Curian melodi nakal Leo Sinatra serasa bersautan dengan slaping contra bass Kape Sinatra, diiringi ketatnya penjaga tempo Ajie Sinatra dengan gebukan drum sederhana dan tidak berlebihan. Menjadikan album ini benar benar sempurna.
Dan di tahun 2010 juga kita harus kehilangan drumer kita aji the billy yang mengajukan untuk cuti dikarenakan kesibukannya membuat tesisi S2 nya, dan sampai ini posisi yg ditinggalkan oleh aji the billy untuk sementara digantikan oleh drumer poppies soldier (ska) asal bali anox sinatra yang kebetulan dia sudah sangat menguasai lagu2 sinatra sebelumnya karena sebelumnya anox adalah fans berat suicidal sinatra.

pada akhir tahun 2011 akhirnya suicidal sinatra dengan formasi Opic (vocal, guitar), Leo (Lead Guitar), Kape (slappers bass), dan aji the billy (drum) berkumpul lagi dan mempunyai semangat baru untuk melanjutkan perjuangan suicidal sinatra yang terhenti sekitar 6 bulanan.

Cheers
Suicidal sinatra
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
ARTIST DETAILS
Nama: SUICIDAL SINATRA
Tanggal/Tahun Berdiri : 16 Agustus 2004
Genre: Psychobilly/Rockabilly Nu Skool
Personnel:
1. Opic Sinatra (Vocal, Guitar)
2. Kappe Sinatra (Stand up bass, vokal latar)
3. Leo Sinatra (Guitar)
4. Aji TheBilly (Drum)

CONTACT
Manager/Contact Person: Yunies Hanggoro, ST, MT
Ponsel.: +6707997912, +628179764061
Address: Sanur, Bali - Indonesia

DISKOGRAFI
ALBUM

1. Valentine Ungu
Rilis: 2004

2. Love Songs & Stinkin' Cheese (EP)
Label: Electro Hell Records
Rilis: 2005

3. Boogie Woogie Psychobilly
Label: Electro Hell Records
Rilis: 2008

4. Los Sinatras
Label : Los Sinatras Records
Rilis : September 2010

KOMPILASI
1. Tropicalize vol. II (kompilasi)
Lagu: White Shoes
Label: (label dari Jepang)
Rilis: 2006
2. Moshpit Mavericks (kompilasi)
Lagu: Iblis Surga
Label: The Blado Beatsmith
Rilis: 2008
3. Far East Slappers (kompilasi)
Lagu: Suicide Mission dan I'm A Soldier
Label: Broze First Record (Jepang)
Rilis: 2010
3. Rules Music indonesian (kompilasi)
Lagu: Polisi Moral
Label: Rules Music indonesian Record
Rilis: 2010

ADDITIONAL INFOS
Influenced by: The Living End, Tiger Army, Mad Sin, Reverend Horton Heat, The Clash, Johnny Cash, Frank Sinatra

Gigs Terbaik:
1. Panggung Utama Soundrenaline, Denpasar
2. Tour bersama 7Crowns, Bali-Malang-Surabaya-Gresik-Yogya
3. Panggung Utama Soundrenaline, Denpasar
4. Thursday Riot at Parc, Jakarta
5. Jakarta Rock Parade
6. Pekan Raya Jakarta
7. PENSI SMU Jawa-Bali
8. Dare 2 Care DI Jogjakarta
9. Java Rockingland
10. Radio Show TV one 2012


Download This !



Suicidal Sinatra - Los Sinatra (2010)